BANDUNG - wartaekspres - Sungai Citarum
dinilai memiliki peran penting dalam membangun peradaban manusia. Diyakini,
saat Kerajaan Tarumanagara berkuasa (4-8 M), Citarum merupakan penunjang
majunya masyarakat saat itu.
Menurut naskah
Wangsakerta, pusat Kerajaan Tarumanagara terletak di tepi sungai. Meski, tak
diketahui persis letaknya. Namun, berdasarkan temuan arkeologi, lokasi kerajaan
berada di muara Citarum.
Bukti tersebut
diperkuat dengan ditemukannya kompleks percandian di Batujaya, Kabupaten
Karawang, Jawa Barat. Situs Percandian Batujaya ini berada di dua wilayah, Desa
Segaran, Kecamatan Batujaya, dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya.
Tahun 1985, Tim Arkeologi
Fakultas Sastra Universitas Indonesia melakukan penelitian awal seluas 5
kilometer persegi di kawasan tersebut. Hasilnya, 20 sisa bangunan candi
ditemukan dan diindetifikasi. Beberapa candi besar juga berhasil diekskavasi
seperti Candi Jiwa dan Candi Blandongan.
Juru Pelihara Candi
Jiwa Nasri mengatakan, bahwa sebelumnya kawasan tersebut hanyalah
gundukan-gundukan tanah atau masyarakat yang tinggal di sekitarnya menyebut
dengan istilah unur-unur. Berkat penelitian dan pengembangan arkeologi,
akhirnya unur-unur itu berwujud candi.
“Dahulu, gundukan
tanah tersebut sering dipakai masyarakat untuk berkebun atau menggembala
ternak,” kata Nasri kepada Mongabay Indonesia, baru-baru ini.
Di antara sejumlah
unur yang terhampar diketahui sudah memiliki nama. Ada Unur Jiwa, Unur Blandongan,
Unur Serut, Unur Lempeng, Unur Lingga, Unur Asem, Unur Damar, dan Unur Gundul.
“Perihal nama, itu
mengacu masyarakat setempat. Semisal, Unur Jiwa, karena dulunya tiap kali
mengembala ke unur itu banyak ternak mati. Diibaratkan, jiwa yang hilang tanpa
sebab, sehingga disebutkan demikian,” katanya.
Sementara Unur
Blandongan, sambung Nasri, menunjukkan tempat berkumpul. Sebab, Sungai Citarum
acapkali meluap sehingga unur tersebut dijadikan lokasi kumpul masyarakat
karena lebih tinggi dari sekitarnya.
Di Kompleks
Percandian Batujaya, berdasarkan hasil penelitian hingga 2007, ditemukan
berbagai artefak. Sebut saja epigrafi, votif tablet berelief Buddha, fragmen
prasasti tanah liat bertuliskan aksara pallawa, tembikar, dan kerangka-kerangka
manusia. Berdasarkan analisis C14 (Radio Carbon Dating) bangunan percandian di
ujung Karawang ini, barasal dari masa perkembangan Kerajaan Tarumanagara.
Menurut Hasan Djafar
dalam Buku Kompleks Percandian Batujaya, bangunan ini dibuat selama dua fase.
Pertama, sekitar abad 6-7 Masehi dan berikutnya awal abad 8-10 Masehi. Ini
mengisyaratkan, Percadian Batujaya merupakan Candi Budha tertua di Nusantara.
Dari berbagai riset
di Batujaya, ditemukan ragam bukti sejarah. Semisal, majunya peradaban waktu
itu bisa dilihat dari teknologi pembuatan candi yang terbilang canggih dan
masih dipakai hingga saat ini.
Hampir di setiap
reruntuhan bangunan candi, ditemukan stuko atau plester berbahan dasar kapur.
Stuko juga dipergunakan sebagai bahan pembuatan ornamen, relief, serta arca.
Karena letak kompleks Batujaya tidak jauh dari Sungai Citarum, bahan baku kapur
diambil dari pegunungan karst di Karawang selatan menggunakan transportasi
perahu.
Temuan penting
lainnya adalah bangunan candi Batujaya terbuat dari bata. Di masa itu,
pembuatan batu bata sudah menerapkan inovasi campuran sekam atau kulit padi.
“Adanya sekam pada
candi menunjukan, masyarakat sudah menggarap pertanian. Unsur sekam digunakan
untuk membakar tanah liat menjadi batu bata,” ujar Nasri.
Kemajuan
Di laman Kementerian
Kebudayaan disebutkan, hadirnya kepurbakalaan di Batujaya tidak terlepas dari
penemuan Prasasti Tugu di Cilincing, Jakarta Utara.
Hasan Djafar
menuliskan, inskripsi dari Prasasti Tugu mengisyaratkan masyarakat Tarumanagara
merupakan komunitas yang hidup dengan bercocok tanam. Ini ditunjang dengan
pembangunan saluran irigasi dan masih berada di DAS (daerah aliran sungai)
Citarum.
Sementara itu,
diketahui pula bahwa kompleks Percandian Batujaya ternyata dekat garis pantai.
Ini berkaitan dengan kajian arsitektural pada kompleks percandian Batujaya yang
menunjukkan adanya kesamaan gaya perupaan dengan India utara. Khususnya daerah
Nalanda yang dipengaruhi gaya Gandhara
Kemungkinan pada masa
itu, pola perdagangan dan pengaruh kebudayaan luar Batujaya telah terbangun
melalui jalur maritim. Pasalnya, di gedung Penyelamatan Benda Cagar Budaya
tempat menyimpan peninggalan Batujaya terdapat barang-barang kuno seperti
gerabah arikamedu, peralatan perunggu, gelang loklak, manik dan keramik yang
berasal dari China.
Menurut peneliti
geologi T Bachtiar, lokasi berdirinya Kerajaan Tarumanagara berada di muara
Citarum. Karena berada di wilayah strategis, pada masanya kejayaan ini sudah
memfungsikan dermaga untuk membuka alur perdagangan lintas negara seperti India
dan China.
Bahtiar
mengungkapkan, Kerajaan Tarumanagara terletak di bantaran sungai, dekat pesisir
laut, dan telah membuat kanal di sekitar candi sebagai upaya mitigasi.
Menjelang generasi
akhir kejayaannya, Tarumanagara berada lebih ke dalam daratan sehingga agak
jauh diakses. “Iniah yang saya duga sumber dasar dari kemunduran pamor kerajaan
tersebut,” tutur Bachtiar melalui pesan singkat.
Saat ini, jarak
Kompleks Batujaya ke pesisir Laut Jawa sekitar 5 – 7 kilometer. Karena dinamika
bumi, kata Bachtiar, terjadi pengangkatan kawasan oleh transgresi (penambahan
muka air laut) dan sedimentasi. Sungai semakin panjang ke utara, akibat
muarannya bergeser ke arah Laut Jawa.
Diperhatikan
Citarum bukan hanya
panjang, 297 kilometer, tetapi juga sarat akan sejarah. Sejarawan Sunda A.
Sobana Hadjasaputra pada tulisannya “Citarum Dalam Perspektif Sejarah”
menyebut bahwa fungsi Citarum bukan hanya potensi airnya semata. Tetapi, tentang
peninggalan budaya yang menyiratkan sejumlah kearifan tempo dulu.
Memasuksi zaman
sejarah, Citarum makin penting artinya bagi berbagai kehidupan. Dusun di tepi
Citarum yang dibangun oleh Jayasinghawarman, berkembang menjadi Kerajaan
Tarumanagara.
Di bawah Purnawarman,
Raja Tarumanagara ke tiga, peradaban makin maju berkat kebijakan yang
dicanangkannya. Untuk keperluan air di pusat kerajaan, tulis Sobana,
Purnawarman memerintahkan rakyatnya untuk membuat saluran air, yaitu kali
Gomati dan Candrabhaga.
Tentu saluran itu,
dihubungkan dengan Citarum, sehingga saluran air tersebut menjadi anak sungai
Citarum. Dia juga memerintahkan rakyatnya untuk memperbaiki, memperkuat dan
memperdalam alur Citarum. Dia paham, masyarakatnya bermata pencaharian dari
pertanian, menangkap ikan, serta berdagang. Citarum menjadi pemasok air.
“Pada sisi lain,
perintah Purnawarman menunjukkan bahwa raja itu sangat memperhatikan Citarum
sebagai “urat nadi” kerajaan. Citarum diperhatikan dan dijaga kondisinya,”
tulis Sobana. (Kana Sumpena)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar