BREBES - wartaekspres - Tindakan arogansi
dengan merendahkan (melecehkan) profesi jurnalistik dilakukan oleh salah satu
Perangkat Desa di Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Tashadi (42), memakai kemeja hitam, adalah salah satu wartawan (jurnalis)
media online Tipikor Investigasi.Com
Biro Kabupaten Brebes, mendapatkan perlakuan tidak sepantasnya dari Sahirin
(52), perangkat Desa Limbangan, Kersana, saat sedang melakukan tugas
jurnalistiknya yaitu konfirmasi terhadap proyek pembangunan TK Pertiwi di
Kantor Desa Limbangan, Kamis (30/01).
Hal ini dibenarkan Tashadi kepada media IMC.Com, melalui sambungan ponsel, Sabtu pagi (1/2/2020). Menurutnya,
masih saja terjadi penghinaan dan diskriminalisasi terhadap profesi wartawan.
Masih saja ada yang belum mengetahui bahwa kinerja wartawan di lapangan dalam
menggali dan mengumpulkan informasi sebagai keterbukaan publik, dilindungi UU
Pers Nomor 40 Tahun 1999.
“Saya merasa direndahkan profesi saya oleh salah satu perangkat desa
tersebut saat klarifikasi informasi. Katanya (Sahirin-red), mayoritas wartawan
ujung-ujungnya hanya meminta uang kopi atau bensin, padahal saya baru mengajukan
dua buah pertanyaan ringan yaitu siapakah Ketua TPK dan Bendahara Pembangunan
TK Pertiwi,” ucapnya.
Belum banyak bertanya lebih dalam, perangkat desa tersebut emosi dan dengan
nada tinggi mengulangi merendahkan profesi wartawan.
“Jika memang ada orang yang berprofesi baik ormas, LSM atau wartawan yang
melakukan praktek pungli di lapangan, maka itu adalah oknum yang melenceng atau
menyalahi tupoksi profesinya. Namun yang jelas jangan merendahkan atau
mencemarkan nama profesi secara keseluruhan,” tandasnya.
Dijelaskannya lebih lanjut, bahwa perlakuan terhadap dirinya saat berada
dalam ruangan balai desa itu juga disaksikan beberapa rekan wartawan lainnya.
Naas bagi pejabat tersebut, percakapannya terekam ponsel Tashadi.
Mengetahui hal ini, Sahirin berusaha merebut ponsel sambil mengeluarkan
kata-kata yang tidak sepantasnya kembali.
“Handphone saya ingin dirampasnya dan diancam mau dibanting. Pak Sahirin
juga mengucapkan ultimatum, bahwa akan menyikat saya jika datang lagi,”
imbuhnya.
Dari bukti rekaman percakapan tersebut selanjutnya Tashadi bersama para
saksi (rekan media lainnya), mengadukannya ke Polsek setempat. Tampak
Sahirin (baju merah) sedang dimintai keterangan di ruang Polsek Kersana terkait
aduan tersebut.
“Saya memang sengaja melaporkan ke Polsek sebagai efek jera atas arogansi
pejabat desa tidak mempunyai etika berkomunikasi. Saya hanya akan memaafkan
jika yang bersangkutan mengakui kesalahannya secara tertulis dan bersedia
meminta maaf melalui rekaman video kepada rekan-rekan jurnalis umumnya,”
tegasnya.
Tashadi berharap, agar jika hendak berkomentar atau mengeluarkan gagasan (ide)
hendaknya secara bijak dan cerdas, jangan asal bunyi. “Jika seperti ini kan
akhirnya rekan-rekan seprofesi lainnya kan juga tersinggungan,” pungkasnya.
Sementara itu Agus Salim, Kepala Biro Tipikor
Investigasi.Com, menyatakan, bahwa kehadiran wartawan di tengah-tengah
kehidupan sosial kemasyarakatan adalah sudah sesuai dengan Undang-Undang Pers
Nomor 40 Tahun 1999.
”Ketika wartawan sedang mencari berita di lapangan, dijamin dengan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, Jadi tidak boleh dihalang-halangi karena ada
ancaman pidana bagi yang menghambatnya,” tegasnya.
Ditambahkannya, bahwa keterbukaan terhadap publik ini sangat penting
sebagai bentuk kontrol sosial, bukan sebagai momok bagi lembaga pemerintahan dalam
menjalankan tupoksinya. Pasalnya, apakah prosedur pembangunan sudah fair atau
sesuai prosedur dan rancang bangun yang berlaku.
Kejadian yang menimpa salah satu jurnalis ini mendapatkan respon dari para
jurnalis di Kabupaten Brebes yang merasa ikut dilecehkan Jumat siang (31/01),
para kuli tinta lainnya turut mengawal laporan rekan mereka (Tashadi-red), di
Polsek.
“Aksi solidaritas ini untuk memberikan support kepada sesama rekan media
dan profesi yang direndahkan. Ini juga merupakan edukasi kepada masyarakat
tentang keterbukaan publik,” pungkasnya.
Sekedar diketahui, bahwa dalam Pasal 18 UU Pers No. 40 Tahun 1999 berbunyi,
bahwa, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan
yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat
(2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp. 500 juta.
Untuk
Pasal 4 ayat (2) UU tersebut berbunyi, “Terhadap pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran”. Sedangkan ayat (3)
berbunyi “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”. (Aan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar