MEDAN – wartaekspres - Setelah berita PHK sepihak yang
menimpa Ketua Serikat Buruh Perkebunan di PT. PN IV Basis Ajamu viral di media,
banyak dukungan moral bermunculan baik dari berbagai LSM serta mantan aktivis
Buruh di Kota Medan.
Salah satunya
dukungan moral yang diucapkan oleh mantan Ketua Serikat Buruh Seluruh Indonesia
1992 (SBSI) Kota Medan, Rudianto yang kini menjadi Ketua Aliansi Masyarakat
Pemerhati Lingkungan Hidup dan B3 Indonesia (Amphibi) Kota Medan.
Rudianto, ketika
dikonfirmasi wartawan saat mengikuti perjumpaan dengan rekan-rekan LSM, Senin
24 Juni 2019, di Mabes LSM-KPK Nusantara, tepatnya di Jl. D.I. Pandjaitan
terkait masalah yang menimpa Erison Sormin, korban dugaan pemutusan sepihak
yang dilakukan oleh Pihak PT. PN IV Unit Usaha Ajamu Labuhan Batu, harus kita
kawal. “Save Erison Sormin”.
Dikatakannya, bahwa pihak
PT. PN IV Unit Usaha Ajamu keliru dan terlalu bernapsu untuk mempidanakan
Erison Sormin tanpa ada putusan pengadilan.
Menurut Rudianto,
bahwa rentetan kejadian tragis terhadap buruh tidak hanya disebabkan oleh
kebijakan pemerintah dan pengusaha, tetapi juga peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan. Misalnya saja terkait PHK, UU No. 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan yang awalnya diharapkan berpihak pada kepentingan buruh, justru
memunculkan ancaman.
![]() |
Rudianto |
“Misalnya saja Pasal
158 UU No.13/2003 yang memberikan kewenangan pada pengusaha untuk mem-PHK
langsung buruh yang diduga telah melakukan kesalahan berat,” kata Rudianto.
Rudianto menjelaskan,
bahwa ancaman tersebut tidak berumur lama. 15 Oktober 2003 atau tujuh bulan
setelah UU No. 13/2003 disahkan, sejumlah organisasi serikat buruh mengajukan
permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusan No.
012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 silam, MK akhirnya menyatakan Pasal 158
bersama beberapa pasal lainnya tidak berlaku.
Menyikapi putusan MK
tersebut, Depnakertrans tanggap dengan menerbitkan Surat Edaran (SE)
Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi
atas Hak Uji Materiil UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.
Surat edaran ini,
menurut Direktur Perselisihan Hubungan Industrial Depnakertrans, Gandi Sugandi,
mempertegas putusan MK yang menetapkan bahwa pengusaha tidak dapat seenaknya
mem-PHK pekerja/buruh yang sedang ditahan karena diduga melakukan kesalahan
berat.
Dalam Butir 3 huruf a
SE Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005, ditegaskan, bahwa pengusaha yang
akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat, maka
PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Rudianto menambahkan,
bahwa keluarnya SE Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 juga merupakan
respon atas kekhawatiran kalangan pengusaha mengenai kewajiban mereka untuk
membayar upah kepada pekerja/buruh mereka yang ditahan karena diduga melakukan
pidana.
Dalam butir butir 3
huruf b SE Menakertrans tersebut, ditetapkan apabila pekerja/buruh ditahan oleh
pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan
sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 UU No. 13/2003.
“Secara makro negara
masih minimalis untuk mewujudkan keberpihakan dan perlindungan pada buruh dan
industri dalam negeri. Salah satu faktor penyebab rapuhnya industri nasional
adalah kepastian hukum yang tidak jelas melindungi buruh,” tambahnya. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar