BREBES - wartaexpress.com - Telaga Ranjeng dengan ribuan ikannya, merupakan salah satu destinasi wisata yang terletak di Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah selain Goa Jepang, wisata air, dan Tuk Bening yaitu Mata Air Abadi yang ketiganya terletak di kawasan Perkebunan Teh Kaligua.
Jadi, telaga
ini akan dilewati wisatawan yang hendak berkunjung ke Agrowisata
Perkebunan Teh Kaligua, yang berjarak 1 kilometer dari telaga.
Telaga Ranjeng
terletak di ketinggian 1.200 mdpl, di kawasan hutan pinus dan damar yang
merupakan Cagar Alam Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Jateng, di kaki Gunung Slamet. Suhu harian mencapai 8-22 derajat
celcius di musim kemarau, dan 4-12 derajat celcius saat musim penghujan.
Telaga ini pertama
kali ditemukan tahun 1924 pada zaman penjajahan Belanda, sehingga pihak Belanda
menetapkannya sebagai strict nature reserve (kawasan cagar alam) melalui
SK Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 25 Tannggal 11 Januari
1925, dengan total luas mencapai 48,5 ha. Status ini kemudian diperkuat dengan
SK Penunjukan Menteri Kehutanan No. SK.3 5 9/MenHut-II/2004 Tanggal 1 Oktober
2004.
Selanjutnya pada
tahun 2013, status itu diperkuat kembali dengan SK Menhut
No.313/Menhut-II/2013, Tanggal 13 Mei 2013. Berdasarkan SK Menhut ini, total
luas kawasan konservasi hutan resapan wilayah Brebes selatan ini mengalami
penambahan menjadi 53,41 ha, dengan luas telaga mencapai 18,74
ha.
Terakhir kali pada
tahun 2018 lalu, dilakukan pengukuran oleh BKSDA Jateng melalui Seksi
Konservasi Wilayah II Pemalang, bahwa luas keseluruhan kawasan cagar alam itu
menjadi 58,5 ha, dengan perincian 39,7 ha luas daratan/hutan, dan 18,85 ha
untuk telaga/perairan.
Telaga Ranjeng
bukan merupakan obyek wisata, hanya tempat yang dikunjungi wisatawan. Itu karena
tempat ini berada di kawasan cagar alam/suaka alam/ pelestarian Alam,
yang hanya dapat dimanfaatkan sebagai tempat penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan peningkatan kesadartahuan
konservasi alam, penyerapan dan/atau penyimpanan karbon, serta pemanfaatan
sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya. Ini berdasarkan UU Nomor 5 Tahun
1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, serta PP Nomor 28 Tahun
2011, tentang Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Telaga yang berusia ratusan tahun ini mulai dikenal untuk umum pada tahun 1935. Salah satu bukti kuat usia telaga tersebut adalah dengan masih adanya perahu jukung/sampan di tepi telaga.
Tampak keluarga
Serma Aan Setyawan, anggota penerangan Kodim 0713 Brebes sedang memegang ikan
mas di atas jukung tersebut, Minggu (31/10/2021).
Disampaikan Serma
Aan, bahwa dirinya hanya ingin membuktikan mitos bahwa jika pengunjung memegang
dan mengangkat ikan mas untuk difoto, kemudian ikan itu jatuh dari gendongan
maka setelah pulang akan bermimpi bertemu ikan itu, dan paginya badan akan
terasa sakit.
“Saya niatnya hanya
ingin mengabadikan momen bersama ikan mas saja. Walaupun ikan itu akhirnya
jatuh ke air namun saya tidak ada niat menyakitinya, dan Alhamdulillah mitos
itu tidak terjadi kepada saya,” ujarnya.
Lanjut Aan
mengatakan, ikan mas di situ sangat jinak dengan manusia, terlebih jika
diberikan makan berupa roti yang dijual pedagang di pintu masuk telaga,
ikan-ikan itu berebut roti sehingga membuat air seperti dipenuhi ikan.
Kesan mistis mulai
terasa saat para pengunjung memasuki kawasan telaga yang konon terdapat istana
gaib Mbah Ranjeng dengan ribuan pengawalnya yang dipercaya memberikan isyarat
keberkahan ataupun bencana.
“Salah satu mitos
warga adalah ada ikan berukuran sebesar rumah, dimana jika ikan ini terlihat
maka air di telaga akan meluap dan banjir. Percaya atau tidak, cerita rakyat
ini, yang pasti perlu kita dilestarikan sehingga tetap menjadi salah satu
kekayaan budaya nusantara,” tandasnya.
Selain itu, kesan
mistis juga dikarenakan dulunya telaga ini juga dijadikan sebagai tempat
bersuci para raja Jawa, khususnya raja-raja Majapahit.
Kemistisan juga
didukung kepercayaan yang menyebutkan bahwa penguasa telaga ini adalah Eyang
Putihan yang memiliki banyak santri/murid, dimana santri-santri yang
membangkang perintah gurunya itu dikutuk menjadi ikan-ikan penunggu telaga.
Masyarakat juga
percaya bahwa selain Eyang Putihan dan ikan kutukan itu, penunggu telaga lainnya
adalah Anglingkusumo yang merupakan putra dari Prabu Angling Dharma, Eyang
Tunggul Wulung, ikan lele raksasa, ratu maung (harimau putih), Ratu Majeti yang
berwujud ular, Ratu Sulung Wanora yang berwujud kera putih, serta ada Nyi Dewi
Rantamsari yang mitosnya beberapa kali terlihat mengambang diatas permukaan
telaga untuk menyapu dedaunan yang jatuh di air telaga.
“Masyarakat percaya bahwa tidak ada dedaunan di atas permukaan air telaga, padahal telaga dikelilingi banyak pepohonan besar dan rindang. Mereka percaya Nyi Dewi Rantamsari yang membersihkannya,” imbuhnya.
Sementa diceritakan
Jamal (43), juru kunci telaga generasi ke tiga sekaligus petugas keamanan
kawasan hutan lindung itu, pada awalnya telaga dihuni oleh ikan wader, namun
entah apa sebabnya ikan wader itu menghilang dan kemudian berganti menjadi lele
yang ukurannya hampir sama.
Ikan-ikan ini telah
berganti jenisnya berkali-kali, dimana awalnya adalah ikan wader, kemudian
lele, nila, dan sejak tahun 2020 lalu berganti menjadi ikan mas.
“Dari mitos-mitos
itu, para pengunjung tidak berani menangkap ikan-ikan itu sehingga
keberadaannya tetap lestari. Pengunjung ikut meyakini bahwa jika mengambil ikan
di telaga ini maka akan mendapat musibah/petaka,” katanya.
Masyarakat di
desa-desa yang berada di bawah telaga juga percaya, jika ikan yang muncul
adalah lele maka pertanian mereka kurang makmur karena tanaman mereka dimakan
hama serangga dan tikus. Namun, jika ikan mas yang muncul maka pertanian mereka
akan melimpah atau dalam masa keemasan.
Kepercayaan tentang
ikan keramat itu juga dikaitkan dengan kejadian bencana alam dasyat
tsunami di Aceh pada 2004 silam. Waktu itu, ribuan ikan lele di telaga
tiba-tiba hilang dan berganti menjadi ikan nila.
Setelah tsunami
itu, ikan nila berganti kembali menjadi ikan lele, kemudian pada 2010 lalu
ikan-ikan lele itu berganti kembali menjadi ikan mas.
Jamal menegaskan,
tidak ada seorang warga pun yang menebar ikan di telaga itu. Pergantian
jenis ikan itu terjadi secara tiba-tiba dan dalam hitungan hari, dan anehnya
ukurannya hampir sama semua.
Menurutnya, pernah
ada salah seorang wisatawan yang mengambil ikan lele disana, namun sesampainya
di rumah yang bersangkutan sakit-sakitan dan baru sembuh setelah mengembalikan
ikan lele yang dibawanya itu ke telaga.
“Kejadian aneh juga
pernah terjadi pada 25 Maret 2019, ada warga Desa Paningkaban, Kecamatan
Gumelar, Kabupaten Banyumas, yang hilang selama 12 tahun ditemukan di tepian
Telaga Ranjeng,” bebernya.
Karyono, orang yang hilang itu ditemukan Aris keluarganya, terlihat dalam keadaan linglung dan tidak bisa berbicara. Ia masih mengenakan celana yang sama dengan yang digunakannya 12 tahun silam (19 November 2007).
Begitu juga saat
sebelum menghilang, Karyono menderita penyakit kulit di bagian kakinya,
dimana sudah berobat kemana-mana namun penyakit kulit itu semakin parah
sehingga membuatnya menjadi sosok yang berkecil hati.
Namun meskipun
begitu, kepulangan Karyono tetap disambut gembira oleh pihak keluarganya,
terlebih saat ditemukan penyakit akutnya itu sudah hilang tanpa bekas.
Dulu banyak yang
percaya bahwa jika air telaga dapat digunakan untuk menyuburkan tanaman serta
mencegah serangan hama. Namun sekarang masyarakat tidak ada yang berani
menggunakannya.
“Sebagian
masyarakat masih ada yang percaya bahwa jika air telaga luber sampai ke jalan
maka pertanian mereka akan melimpah,” sambungnya.
Mitos turun temurun
lainnya adalah bahwa Telaga Ranjeng adalah pusarnya Gunung Slamet, gunung
yang berketinggian 3.428 mdpl dan merupakan salah satu dari 129
gunung api aktif yang ada di Indonesia. Telaga ini terbentuk dari kawah
Gunung Slamet yang tercatat di Volcanolive.com pernah meletus
sebanyak 43 kali, mulai tahun 1772 sampai 2009.
Untuk versi lain,
terbentuknya telaga itu adalah dari salah satu Waliyullah yang membuat
mata air (sekarang telaga-red), agar masyarakat dapat berwudhu dan bercocok
tanam.
Masyarakat desa di
bawah telaga, sudah mencoba membuat sumur sampai kedalaman 100 meter,
namun anehnya tidak ada air yang muncul. Sedangkan loginya, umur-sumur itu
harusnya muncul mata air karena letaknya lebih rendah dari telaga.
“Sampai sekarang
masyarakat yang tinggal di desa-desa yang lebih rendah dari telaga itu,
menggunakan mata air alami yang juga ada di kaki Gunung Slamet, yang dialirkan
ke rumah-rumah atau sawah dengan menggunakan selang atau pipa pvc,” tandasnya.
Lebih lanjut Jamal menjelaskan, bahwa setiap bulan Suro, masyarakat setempat menggelar upacara adat Ratiban, yaitu ritual mengumpulkan ratusan tumpeng/gunungan, kemudian berdoa bersama, dan akhirnya dimakan bersama.
Ritual itu sebagai
wujud ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta sekaligus sebagai tolak bala
dan bencana. Ritual ini pertama kali digelar pada masa kepala desa Pandansari
pertama, yaitu Kades Sirpan Reskayuda.
Masih menurut Jamal, sampai
saat ini belum diketahui secara pasti kedalaman telaga ini. Ada yang mengatakan
hanya sekitar tiga meter. Namun ia mengingat bahwa pada tahun 2018 lalu,
sejumlah mahasiswa UNSOED Purwokerto melakukan penelitian untuk mengukur
kedalaman telaga dengan menggunakan sonar. “Pada saat itu didapatkan hasil
pengukuran terdalam mencapai 1.200 meter,” imbuhnya.
Beberapa praktisi
supranatural juga pernah hadir melakukan mediumisasi dengan beberapa penunggu
gaib untuk menguak mitos dan kedalaman telaga.
Mahasura, salah
satu penguasa gaib yang berwujud manusia bermata merah dan bisa berwujud ular
ini mengatakan, kedalamannya mencapai 170 meter di bagian timur-utara telaga.
Kedalaman ini diucapkannya bernama Kedung Ombo, yang berasal dari pepunden
(palung/kedung) Gunung Slamet.
Menurut Mahasura
yang menetap di Kedung Ombo juga, ikan lele besar itu merupakan salah satu anak
buahnya. Kemudian untuk jenis ikan yang berubah-ubah adalah anak buahnya juga,
karena jin dapat berubah-ubah, jadi bukan santri-santri kutukan
Eyang Putihan.
Sementara itu
disampaikan Sertu Sugeng Widodo, Babinsa Pandansari dari Koramil 11 Paguyangan,
saat ini Telaga Ranjeng sudah dibuka untuk umum kembali sejak Brebes menyandang
predikat PPKM Level 3 sejak 21 September 2021 lalu.
“Bersama Bhabinkamtibmas dan Pokdarwis Pandansari, kita terus menghimbau masyarakat agar tetap mematuhi protokol kesehatan, serta kepada para pengunjung agar tidak mengambil ikan di Telaga Renjeng agar habitatnya tetap terjaga,” tegasnya. (Aan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar