TENGGARONG - wartaexpress.com - Kerajaan Sagara di Muara Kaman merupakan Kawasan wilayah Nusantara yang di dalam sejarah nama Nusantara adalah nama yang mempersatukan kerajaan kepulauan di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan merupakan wilayah Indonesia sekarang.
Dalam Prasasti Yupa
(Yupo) ditemukan kata Sagara yang lebih mengenai nama Kerajaan di Muara Kaman yang
berasal dari kata Bakulapura sebagai Kutanegara atau Ibukota Bakula, artinya
Muara dan Pura dapat diartikan Kota jadi Kota di Muara sesuai kondisi bahwa
Kota Muara Kaman berada di kedua Muara Sungai, yakni Sungai Mahakam dan Sungai
Kedang Rantau. Kata Bakulapura terdapat dalam Kitab Gotrasawala I Bumi
Rajnya-Rajnya Nusantara diterbitkan abad ke-17 oleh Pangeran Wangsekerta
sebagai Ketua Gotrasawala yang penulisanya selama 20 tahun.
Dalam Buku Empu Prapanca,
kitab Negarakertagama juga dikatakana memuat sumpah Patih Gajah Mada yang
menyatakan Nusantara adalah Kawasan Kerajaan atau pulau-pulau sekitar Jawa
adalah kawasan Nusantara yang bermakna pulau-pulau.
Mari pahami makna dari kata
Nusantara yang diambil dari artinya sebagai Kawasan, jika ia merujuk pada
wawasan Nusantara adalah Negara-negara Kepulauan, dan Jika merujuk pada Kawasan
tentulah merujuk pada pulau-pulau saat itu disebut Nusa berantara Lautan
sebagai pemisah Pulau Jawa dan Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Sumatra serta
Semenanjung Malaysia dan Pilipina.
Nusantara adalah nama
kawasan Kepulauan yang tidak takluk pada era Majapahit, termasuk dalam kawasan mancanegara
Majapahit dan bukan dalam wilayah Mandala Majapahit, sehingga oleh penulis
Eropa mengatakan nama Nusantara itu termasuk Kalimantan Timur disebut kawasan
Nusantara, jadi kata nusantara tidak merujuk kepada satu kerajaan atau wilayah
di Kalimantan Timur saja, akan tetapi semua kerajaan kepulauan dan juga Pulau
Jawa adalah Kawasan Nusantara itu sendiri.
Nusantara adalah nama
dari kawasan Kerajaan-kerajaan Kepulauan yang sekarang menjadi Negara
Indonesia, Pilipina, Malaysia, Singapora, Berunai Darussalam dan Timor Leste
serta Kambodia. Jadi jika Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dinamakan Nusantara
adalah tepat sebagai sentra penyatuan Negara Kepulauan yang semuanya merasa
berhak atas nama Nusantara.
Hal ini kita jangan
salah kaprah dan mengklaim yang tidak mendasar pada hal-hal yang menimbulkan
polimik, Nusantara itu milik kita semuanya, milik bangsa-bangsa dunia dan milik
masyarakat Indonesia khususnya. Sebagai Maharaja di Kerajaan Kutai Mulawarman
pewaris dari Kerajaan Sagara di Muara Kaman, kami menyambut baik tentang nama
Nusantra itu, nama yang sudah merupakan nama penyatuan dari etnis, dan golongan
serta bangsa dan negara.
Intinya, Presiden Jokowi telah meletakan dasar menuju “Jangka Jaya Baya Pralampita”, yang artinya dasar Zaman Keemasan menuju Nusantara Jaya Indonesia Cerdas Berbudaya dan mercusuar dunia.
Lihat Sumpah Gajah Mada
tertuang didalam Kitab Pararaton, yang mana dalam tulisan membahas mengenai
Suku Kutau yang pada awalnya Kutai bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat
atau wilayah, kemudian lambat laun Kutai menjadi nama suku dan nama Kabupaten
di wilayah Kalimantan Timur.
Penamaan ibukota
kerajaan (Kutanegara) pada abad ke-4, bahwa nama Muara Kaman berasal dari kata
Bakulapura letaknya di tepi sungai Mahakam di seberang persimpangan Sungai Kanan
Mudik Mahakam, yakni Sungai Kedang Rantau asal nama Kota Muara Kaman sekarang
adalah Bakulapura sesuai catatan di dalam sejarah Pustaka Rajya Rajya i Bhumi
Nusantara, yang mana kota ini disebut Kota Muara.
Menurut budaya tutur
yang disebut Neroyong, bahwa kata Malaya adalah sebuah Kerajaan Malaya yang
dipimpin Tahani sampai kepada Kudungga/Sri Kundungga (Sri Ga Dong Ga), menjadi
Tahani karena memperisteri putri Tahani bernama Puan Putri Gabok yang bergelar
Maharani Sri Gamboh yang merupakan anak Raja Malaya penguasa Wilaya Ratnadwipa
(Kalimantan).
Di dalam Sumpah Amukti
Palapa Patih Gajah Mada di Kerajaan Majapahit terdapat kata Tunjung Kute, hal
ini tidak benar di dalam Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan
Pararaton, yang berbunyi : “Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia
palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa,
lamun kalah ring Gurun, ring Seran, TaƱjung Pura, ring Haru, ring Pahang,
Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa". ”
Terjemahannya : “Dia
Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, jika
telah menundukkan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit, saya (baru
akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru,
Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan)
melepaskan puasa".
Dari isi naskah ini
dapat diketahui, bahwa pada masa diangkatnya Gajah Mada, sebagian wilayah
Nusantara yang disebutkan pada sumpahnya belum dikuasai Majapahit.
Jadi nama Tanjung Kute
ataupun Tunjung Kute itu tidak ada dalam pararaton dan kitab-kitab
Negarakertagama menyebutkan nama Kutai seperti yang disebut oleh peneliti dari Belanda
dan peneliti lokal Kalimantan Timur.
Kemudian di dalam
catatan sejarah Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara pemerintahan Maharaja Sri
Aswawarman adalah anak menantu Kudungga (Maharaja Sri Kundungga) dan disebut
Juga Raja Bakulapura Tanjung Negara (Muara Kaman), berkuasa di Kutanegara.
Di dalam prasasti Yupo ditulis bahwa nama Kerajaan yang ada di Muara Kaman adalah Kerajaan Sagara, Wilayah kekuasaannya disebut Sadipa Malaya, daerah letak kerajaan atau ibu kota kerajaan bernama Bakulapura (Kota Muara) dalam bahasa Jawa Kuno, sedangkan dalam bahasa Melayu yaitu Moearakaman sebutan sekarang (Muara Kaman).
Raja Bakulapura dikenal
dengan nama Kudungga (Kundungga), dan Kerajaan ini jaya pada masa dinasti
ketiganya yaitu pada masa pemerintahan Maharaja Sri Mulawarwan.
Kata Bakulapura berasal
dari Bakula artinya Muara dan Pura artinya Kota jadi Bakulapura artinya adalah
Kota Muara, di jaman Kerajaan Salakanagara.
Di jaman Kerajaan
Singasari dalam bahasa Jawa kuno, Muara Kaman dikenal dengan nama Bakulapura,
karena daerah Muara Kaman didalam naskah melayu disebut Moearakaman/Muarakaman.
Kata Muara sendiri memiliki arti tempat berakhirnya aliran sungai, danau, atau
sungai lain; sungai yang dekat dengan laut, dan kenyataannya Muara Kaman
merupakan berakhirnya aliran Sungai Kedang Rantau ke Sungai Mahakam.
Sebagai Raja Sagara di
Baulapura (Muara Kaman) di bawah pimpinan Maharaja Sri Mulawarman, kehidupan sosial
dan kemasyarakatan di masa itu sangat diyakini berkembang dengan baik.
Tentang Kudungga Banabya putra Attwangga, Attwangga putra Mitrongga Lugubhumi, Mitrongga Lugubhumi berasal dari Wangsa Sunga Magadha di Bharatawarsa, akibat dari Wangsa Sunga dikalahkan oleh Wangsa Kusana, Bakulapura di bumi Tanjung Nagara Wangsa Sunga Magadha di Bharatawarsa tertulis dalam Kitab Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta di dalam pelaksanaan Gotrasawala yang berlangsung pada tahun 1599 Saka (1677 M), sedangkan penyusunan naskah-naskahnya menghabiskan waktu hingga 21 tahun (selesai 1620 Saka, 1698 M). (Rls)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar