SERANG - wartaexpress.com - Sidang pembacaan putusan terhadap perkara Unep Hidayat dan Djuanningsih kembali ditunda untuk yang ke tiga kalinya.
Unep Hidayat dan
Djuanningsih yang diduga kuat menjadi korban skenario jahat Kunto Aji dan
Dherandra, juga kuat dugaan menjadi korban rekayasa hukum sudah hampir satu
tahun belum mendapatkan kepastian hukum.
Menurut pegiat anti
korupsi, Madun Hariyadi, yang juga Ketum GPHN-RI yang memiliki data-data valid terkait perkara kredit fiktif BJB Cab Tangerang
menagatakan, bahwa sejak awal tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan
Unep Hidayat maupun Djuaningsih.
Terkait bobolnya uang BJB
Cab Tangerang pada tahun 2015 sebesar 8,7 miliar yang melakukan perbuatan
melawan hukum adalah terpidana Kunto Aji mantan Kepala Cab BJB Tangerang dan
terpidana Dherandra Alteza Widjaya.
Kunto Aji dan Dherandra
telah terbuki secara sah di persidangan telah merencanakan dan merekayasa
dokumen akad kredit. Tujuan Kunto Aji dan Dherandra membobol BJB Cab Tangerang
adalah untuk menutupi hutang-hutangnya pada Djuanningsih dan hutangnya di BJB Cab
Purwakarta.
"Untuk itu saya
berharap, semoga Majelis Hakim dibuka mata hatinya dan mendapat bimbingan dari
Tuhan Yang Maha Pengasih agar membuat keputusan batal demi hukum dalam perkara
Unep Hidayat dan Djuanningsih," ujar Madun kepada wartaexpress.com,
Jumat (28/1/22).
Karena Unep dan
Djuanningsih adalah pihak luar yang diperalat oleh terpidana Kunto Aji dan Dherandra.
Namun selama proses penyelidikan dan penyidikan oleh Kejati Banten banyak
kejanggalan dan sangat amburadul penegakkan hukumnya.
Bahkan dalam pledoi
pribadi Unep Hidayat yang sempat menyebut ada oknum Jaksa yang meminta jatah
perempuan, meminta dirinya bersujud di kaki oknum Penyidik Kejati Banten, dan
menyebut dirinya mengalami kerugian hampir Rp. 1 miliar untuk melayani oknum Penyidik
Pidsus Kejati Banten membuat gempar dunia hukum.
“Sementara masalah
kredit macet BJB Cab Tangerang ini pada tahun 2016 sudah ada hasil auditnya. Kalau
saja Penyidik Pidsus Kejati Banten profesional saya rasa proses hukum kasus BJB
Cab Tangerang ini tidak akan berlarut-larut dan juga tidak akan menjadikan Unep
Hidayat dan Djuanningsih tersangka,” terang Madun.
Suara lantang Unep
Hidayat juga pernah menggemparkan ruangan sidang Pengadilan Negeri Tipikor
Serang pada Selasa, 9 November 2021. Pegawai Negeri Dinas Pendidikan Kabupaten
Sumedang yang menanggung status terdakwa dalam kasus korupsi Bank Jabar Banten
(BJB) Tangerang ini blak-blakan mengungkapkan kesaksiannya perihal Surat
Perintah Kerja (SPK) yang disebut dikeluarkan oleh instansinya untuk syarat
pencairan kredit Bank BJB Bab Tangerang tahun 2015.
Dalam sidang tersebut,
Unep merespons keterangan yang diberikan oleh seorang saksi ahli bernama Ikhsan
ZR. Dia adalah auditor Anti Fraud dan Auditor Umum Bank BJB yang dipercayai
mengaudit sejumlah dokumen yang dipakai seorang terpidana, Dheerandra Alteza
Widjaya, sebagai syarat permohonan kredit untuk PT. Djaya Abadi Soraya dan CV.
Cahaya Rezeki. Kedua perusahaan ini digadang-gadang mengerjakan proyek
pengadaan alat-alat sekolah untuk Kabupaten Sumedang.
Unep menilai Ikhsan
lalai dalam menganalisis SPK yang disebut-sebut ditandatangani olehnya.
"Saudara saksi ini kurang jeli. Sebelum ke Disdik (Dinas Pendidikan)
seharusnya mempelajari dulu SPK ini," kata Unep.
Dia menjelaskan, bahwa
pengerjaan pengadaan alat-alat sekolah yang menggunakan Dana Alokasi Khusus
(DAK) Dinas Pendidikan Sumedang adalah proyek swakelola. Artinya, proyek ini
tidak akan muncul dalam platform Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)
Kabupaten Sumedang.
Perdebatan ini terjadi
karena Unep menilai keterangan Ikhsan tidak tepat dan tidak obyektif. Ikhsan
hanya membeberkan SPK yang menjadi alat bukti Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk
menjerat Unep menjadi tersangka adalah palsu dengan alasan kop surat yang
berbeda dengan aslinya.
“Pada kesaksiannya saat
menjadi Saksi Ahli bagi Kunto Aji Cahyo, Ikhsan menyebut SPK itu palsu dengan
dua alas an, yaitu dokumen dicetak menggunakan kop dinas yang berbeda dengan
kop surat resmi Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang. Pada tahun 2015 proyek
pengadaan peralatan alat multimedia di Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang
dimenangkan oleh PT. Pondok Harapan Gemilang," demikian keterangan Ikhsan
ZR sebagaimana dikutip dalam dokumen Putusan Hakim terhadap Kunto Aji Cahyo
Basuki.
Menurut Unep,
seandainya PT. Djaya Abadi Soraya dan CV. Cahaya Rezeki yang memenangkan proyek
tersebut, nama kedua perusahaan ini juga tidak akan muncul dalam situs lpse.sumedangkab.go.id.
Dengan begitu, alasan bahwa SPK fiktif karena kedua hal yang telah disebutkan
di atas tidak dapat dibenarkan.
"Saya tahu, bahwa
DAK ini dari 2006 sampai 2019 itu saya yang mengelola DAK. Waktu itu tidak ada
harus menggunakan LPSE karena sifatnya swakelola," jelas Unep.
Unep melanjutkan, aspek
yang lain seharusnya perlu diaudit oleh Ikhsan adalah mengenai SPK yang muncul
sebanyak enam buah. Dia mengaku tidak mengetahui mengapa SPK itu menjadi
berlipat ganda saat penyidik menjadikan itu sebagai alat bukti mentersangkakan
dia dan Djuanningsih. "Berarti ini ada apa?," tanyanya retoris.
Meski mengkritisi Ikhsan,
Unep tak membantah bahwa kop surat yang dijadikan alat bukti oleh JPU adalah
hasil rekayasa Dheera berdasarkan hasil audit investigasi yang dilakukan Ikhsan
ZR dan timnya. Namun dia menekankan terbitnya SPK di luar pengetahuannya yang
tidak menunjukkan bahwa Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang terikat dengan
kredit yang diakali oleh Dheerandra dan Kunto.
Unep yang kini mendekam
di Rumah Tahanan Pandeglang menegaskan, bahwa SKP yang pernah dia tandatangani
terkait proyek swakelola di instansinya adalah surat rekomendasi agar PT. Djaya
Abadi Soraya dan CV. Cahaya Rezeki mencari dukungan pabrikan dan konsorsium
sebagai syarat swakelola untuk proyek DAK (Dana Alokasi Khusus) pendidikan.
"Kalau mau
mendapat DAK dari Dinas Pendidikan tahun 2015 ini tidak fiktif Bapak Hakim yang
mulia, Bapak Jaksa, dana DAK itu ada Rp. 56 miliar," tegas Unep.
JPU, Majelis Hakim, dan
Ikhsan ZR saat itu hanya termenung mendengarkan keterangan balasan dari Unep.
Ketiganya tak ada yang membantah argumen Unep.
Ketum GPHN RI yang mengawasi
proses penegakan hukum kasus dugaan Tipikor BJB ini juga hadir di ruang Sidang,
dan menyampaikan kepada awak media, "Dosa besar Majelis Hakim jika tidak
membebaskan Unep Hidayat dan Djuanningsih yang jadi korban skenario jahat terpidana
Kunto Aji dan Dherandra Alteza Widjaya. Begitu juga oknum-oknum di Kejati Banten
yang melindungi pihak-pihak yang tidak ditersangkakan juga akan mengalami hukum
tabur tuai," tegas Gus Madun.
Diketahui Bank BJB
Cabang Tangerang mencairkan kredit senilai Rp. 8,7 miliar untuk PT. Djaya Abadi
Soraya dan CV. Cahaya Rezeki. Kedua perusahaan ini dimiliki oleh dua sejoli,
Dheerandra Alteza Widjaya dan Raja Zehan Runa Soraya. Mereka terbukti mengakali
pencairan kredit bank dengan dalih pembangunan koperasi untuk alat-alat sekolah
di wilayah Sumedang, Jawa Barat.
Adapun keduanya dibantu
Kepala Cabang BJB Cabang Tangerang, Kunto Aji Cahyo Basuki, yang tak lain
adalah aktor intelektual dalam kasus ini. Dengan posisinya sebagai Kepala Cabang,
Kunto menerabas tim analis bank agar mempermudah pencairan akad kredit kedua
debitur. Landasan yang digunakan oleh ketiga 'maling uang rakyat' ini adalah
proyek koperasi sekolah.
Dalam sidang perkara di
Pengadilan Tipikor Kota Serang, Rabu (2/6/2021) lalu, Dheerandra telah dijatuhi
hukuman penjara 6,5 tahun dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 4,5 miliar.
Sementara Kunto Aji Cahyo diganjar 5 tahun 6 bulan penjara. Adapun Zehan yang
juga ikut menikmati duit hasil korupsi itu saat ini masih berkeliaran.
Dalam wawancara khusus
dengan Law-Justice, Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Banten yang kini menjabat
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep Nana Mulyana menceritakan, ketika dia
menerima hasil ekspos perkara oleh penyidik, dia sempat berujar, "Loh ini
(Zehan) kenapa tidak ikut ditersangkakan?"
Saat itu, penyidik
berkata kepada Asep, bahwa Zehan adalah istri Dheerandra yang notabene berada
dalam kendali suaminya. Asep meminta Law-Justice menggugat pengadilan jika
masih ada hal-hal yang dirasa janggal dalam peradilan kasus korupsi BJB
Tangerang.
Kepala Kejaksaan Tinggi
Banten, Reda Mantovani menjelaskan, berdasarkan hasil penyidikan Kejati Banten,
peran Zehan tidak begitu signifikan sehingga tidak ditetapkan sebagai
tersangka.
Keterangan Kajati
Banten, Reda Mantovani, menurut Madun Hariyadi diduga kuat hanya akal-akalan
menutupi kesalahan orang yang lazimnya jadi tersangka.
“Kita lihat saja nanti
ending dari sidang perkara Unep Hidayat dan Djuanningsih. Saya pasti ajukan RDP
di Komisi III DPR RI untuk mengemukakan kebenaran bedasarkan bukti-bukati valid
yang juga saya miliki,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua
Umum Gerakan Penyelamat Harta Negara Republik Indonesia, Madun Haryadi, yang
turut mengadvokasi Djuanningsih dan Unep, mengatakan, bahwa Zehan justru adalah
debitur lain yang ikut menikmati uang hasil korupsi. Dalam audit yang dilakukan
Saksi Ahli Ikhsan ZR, aliran dana turut mengalir ke Pinbuk Zehan sebesar Rp. 750
juta. Duit negara juga mengalir ke CV. Cahaya Rezeki.
Berikut aliran dana
yang masuk ke PT. Djaya Abadi Soraya (milik Dheerandra) dan CV. Cahaya Rezeki: 1.Tanggal
02-11-2015 RTGS ke Djuanningsih Rp. 2 miliar. 2.Tanggal 02-11-2015 Pinbuk ke R.
Zehan Rp. 750 juta. 3.Tanggal 5-11-2015 penarikan cek oleh Cecep (atas perintah
Kunto Aji) Rp. 500 juta. 4.Tanggal 11-11-2015 penarikan cek oleh Prihartomo Rp.
145 juta.
5.Tanggal 11-11-2015
Pinbuk ke Djuanningsih Rp. 500 juta. 6.Tanggal 11-11-2015 Penarikan Cek oleh
Rini Rp. 50 juta. 7.Tanggal 23-11-2015 Pinbuk ke R. Zehan Rp. 50 juta. 8.Tanggal
26-11-2015 penarikan cek oleh Cecep Rp. 50 juta.
9.Kemudian aliran dana
dari BJB ke CV. Cahaya Rezeki; 10.Tanggal 27-11-2015 penarikan cek oleh Wawan
(atas perintah Djuanningsih) Rp. 1,5 miliar. 11.Tanggal 27-11-2015 penarikan
cek oleh cm Cecep Rp. 500 juta. 12.Tanggal 01-12-2015 setor ke CV. Rana Pustaka
Rp. 1 miliar. 13.Tanggal 01-12-2015 Penarikan cek Rp. 200 juta. 14.Tanggal
01-12-2015 Penarikan cek oleh Dewanto (atas perintah Kunto Aji) Rp. 310 juta
dan 15.Tanggal 18-02-2016 Penarikan cek oleh Dewanto (atas perintah Kunto Aji)
Rp.250 juta.
Dari hasil audit
investigasi di atas, terbukti tidak ada serupiahpun yang mengalir atau
dinikmati Unep Hidayat. Madun berujar, Kejaksaan Tinggi Banten seharusnya mampu
bekerja profesional menyelamatkan uang negara Rp. 8,7 miliar sesuai hasil audit
investigasi yang dilakukan saksi ahli.
“Unep Hidayat ditersangkakan karena faktor sakit hati oknum Jaksa. Penanganan kasus BJB Cabang Tangerang ini adalah prestasi yang dilakukan dengan cara-cara yang kotor oleh oknum Jaksa di Kejati Banten,” pungkasnya. (Patar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar