|
Prof. Dr. ST. Burhanuddin, SH, MM, Jaksa Agung RI |
BALIKPAPAN -
wartaexpress.com -
Beberapa waktu terakhir, dunia penegakkan hukum Indonesia dihentak oleh
pernyataan Jaksa Agung, ST. Burhanuddin. Dari mulai pelaksanaan pemberian
keadilan restoratif (RJ) di Kejari Cimahi, hingga wacana perluasan penerapan RJ
dan penyelesaian tipikor dengan kerugian keuangan negara paling banyak senilai Rp.
50 juta.
Direktur Solusi dan
Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad menilai, bahwa wacana yang
digulirkan Jaksa Agung terkait keadilan restoratuf menarik. Suparji
memgapresiasi wacana tersebut, karena itu menjelaskan pergeseran pemikiran praktisi
hukum yang ingin lepas dari belenggu pemikiran legisme (positivisme) yang
memandang hukum hanyalah sebagai aturan perundang-undangan.
Sementara nilai
keadilan, kepastian dan kemanfaatan dari hukum hanya tercermin dari penegakkan
hukum tertulis sebagaimana bunyi undang-undang.
"Pemikiran Jaksa
Agung kini telah mengisyaratkan pergeseran dari legisme menuju pemikiran hukum
realisme. Pemikiran hukum realisme memandang bahwa hukum bekerja tidak
sebagaimana bunyi peraturan perundang-undangan, hukum itu merupakan manifestasi
simbolik para pelaku sosial. Pendekatan pemikiran ini adalah bersifat non
doktrinal artinya bsrdasarkan penilaian atas prilaku masyarakat secara
nyata," ujar Suparji dalam keterangan persnya.
"Selain itu,
pemikiran realisme lebih mengutamakan kemanfaatan dari hukum. Karena memang
hukum itu diadakan adalah demi kemanfaatan bersama masyarakat. keadilan
restoratif (RJ) secara teoritis telah lama menjadi perbincangan para akademisi.
Dan saat ini Jaksa Agung mencoba mengaplikasikannya," sambungnya.
Ia memaparkan,
penyelesaian perkara pidana melalui instrumen RJ ini adalah berbeda konsepnya
dengan mekanisme penghentian penyidikan atau penuntutan seperti konsep yang
diatur KUHAP. Penerapan RJ lebih ke perkara pidana yang secara hukum positif
(legisme/positivisme) telah lengkap dilakukan persidangan pidana dimana akan
diambil keputusan oleh Hakim.
"Artinya berkas
perkara pidana itu lengkap, baik formil maupun materiil. Namun oleh Jaksa
selaku pemegang kekuasaan negara di bidang penuntutan berdasar asas dominis
litis dan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa, maka perkara tesebut dihentikan
penuntutannya karena lebih pada untuk pencapaian keadilan substantif dan
kemanfaatan. Keputusan RJ itulah cermin dari suatu kepastian hukum,"
paparnya.
Secara teoritis, kata
dia, RJ merupakan pelaksanaan tugas fungsi Jaksa yang dibenarkan atas asas-asas
hukum universal yang berlaku secara internasional. Sedangkan untuk penyidik
bukanlah RJ sebagai instrumen penghentian perkara, akan tetapi menggunakan
instrumen penghentian penghentian penyidikan seperti diatur KUHAP.
"Yaitu jika
perkara bukanlah perkara pidana, perkara tidak cukup bukti dan perkara ditutup
demi hukum jika perkara tersebut terdakwanya meninggal dunia, atau karena
perkara daluarsa atau ne bis in idem. Diskresi penyidik dapat dilakukan
sebagai upaya progresif untuk menghentikan penanganan kasus-kasus di masyarakat
yang belum masuk tahap pro justicia yaitu penyelidikan/penyidikan,"
ulasnya.
Suparji menekankan,
bahwa wacana Jaksa Agung terkait penyelesaian perkara tipikor dengan kerugian
keuangan negara 50 juta rupiah ke bawah, merupakan pergulatan pemikiran
positivisme dan pemikiran realisme hukum, sebagai thesa dan anti thesa dalam
dialektika Hegelian maupun Kantianisme. Jadi menurut hemat saya, kata dia,
biarkan wacana tersebut berkembang di tengah masyarakat sehingga menemukam
sinthesanya atau pemecahannya.
"Namun terlepas
dari pro kontra atas wacana Jaksa Agung baik terkait perluasan RJ maupun
penyelesaian perkara tipikor 50 juta rupiah ke bawah, perlu saya garis bawahi,
bahwa itu pemikiran progresif dan maju. Karena secara umum pemikiran
positivisme hukum masih membelenggu para praktisi hukum. Ke depannya, pemikiran
hukum akan lebih jauh lagi di era pemikiran postmodernis yang lebih bersifat
individual, dimana kebenaran umum sebagai bentuk kesepakatan mulai ditinggalkan
atau kehilangan legitimasinya," pungkasnya. (Tun)