SERANG - wartaexpress.com - Sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Kelas 1A Serang terhadap perkara Unep Hidayat dan Djuanningsih dibacakan Ketua Majelis Hakim Slamet Widodo, vonis yang dijatuhkan terhadap Unep Hidayat 4 tahun dan denda 200 juta dinilai sangat melukai rasa keadilan masyarakat. Padahal Ketua Majelis Hakim Slamet Widodo, SH, dengan jelas menyatakan Unep Hidayat tidak dihukum membayar uang pengganti, karena Unep Hidayat tidak terbukti menikmati apa-apa dari uang BJB Cab Tangerang tersebut.
Menurut saya ini zalim
dan tidak menggunakan hati nurani, karena ada banyak yang janggal saat
menjelang vonis Unep Hidayat dan Djuanningsih. Ada insiden protes keras dari
salah satu pengacara terdakwa. Pasalnya sudah menunggu hampir lima jam justru
ada live musik di ruang sidang utama, nampaknya banyak yang sedang berjingkrak-jingkrak
dengan alunan musik slow rock. Saya juga pernah jadi wartawan dan belajar agama,
saya melihat beberapa awak media yang hadir kemarin memang sengaja dikondisikan
dan mereka menulis berita seolah-olah tidak ada dosa.
"Saya selaku Ketum
GPHN-RI yang sejak awal mengawal penegakkan hukum kasus kredit macet BJB Cab Tangerang,
dan saya juga memiliki data yang valid terkait kredit macet BJB Cab Tangerang
akan melakukan segala upaya untuk mendapatkan keadilan dua warga negara Indonesia,
Unep Hidayat dan Djuanningsih.
Ada dugaan kuat Unep
dan Djuanningsih adalah korban rekayasa hukum oleh oknum aparat penegak hukum
yang zalim. Dalam kasus kredit macet BJB Cab Tangerang Unep Hidayat dan Djuanningsih
bukanlah pihak yang harus bertanggungjawab.
Dari hasil audit
investigasi yang dilakukan auditor anti fraud dan auditor umum Ikhsan Zr,
bobolnya uang BJB Cab Tangerang 8,7 miliar yang bertanggungjawab adalah
Dherandra dan Zehan sebagai debitur, dan Kunto Aji sebagai mantan Kepala Cabang
BJB Cab Tangerang pada tahun 2015 silam.
Keterangan Saksi Ahli,
Prof Yunus Husen masalah kredit macet BJB Cab Tangerang seharusnya diselesaikan
secara perdata terlebih dahulu, karena para pihak yang bertanggungjawab ada jaminan
aset untuk disita. Terkait masalah kredit macet BJB ini yang bertanggungjawab
adalah debitur (Dherandra dan Zehan Runa Soraya). Namun hingga saat ini Zehan
Runa Soraya yang terbukti sebagai Debitur tidak ditersangkakan. Sementara
keterangan Ahli dari BPKP, juga memberikan keterangan di persidangan yang
bertanggungjawab terhadap bobolnya uang BJB Cab Tangerang adalah tanggungjawab
Debitur dan Bank BJB itu sendiri, karena bank tidak menggunakan prinsip
kehati-hatian.
Sementara Unep Hidayat
dan Djuanningsih adalah pihak luar yang tidak melakukan perbuatan melawan
hukum, namun Djuanningsih dipaksa harus menyerahkan uang pengganti 2,5 miliar.
Sementara Unep Hidayat
pihak luar yang tidak ada kaitannya dengan akad kredit di BJB dan juga tidak
menikmati apa-apa harus diajukan ke persidangan dan divonis 4 tahun, sangat zalim
vonis yang alami Unep Hidayat.
Karena Unep Hidayat
merasa dirinya adalah korban kezaliman dan rekayasa hukum. Unep Hidayat
menyatakan menolak putusan pengadilan dan siap banding sampai tahap PK. Bahkan Unep
Hidayat mengalami kerugian hampir 1 miliar selama menjadi saksi dalam tahap
penyelidikan.
Sebagai pegiat anti
korupsi yang sudah ratusan kali membongkar kasus-kasus korupsi, dan bedasarkan
data valid yang kami miliki, tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan oleh
Unep Hidayat dan Djuanningsih.
Djuanningsih yang sudah
menyerahkan uang pengganti 2,5 miliar pun terlukai rasa keadilannya, karena divonis
4 tahun dan denda 200 juta, padahal uang yang didapat dari Dhera adalah uang
dari pembayaran hutang sebelum terjadi akad kredit.
Unep Hidayat dan
Djuanningsih yang diduga kuat menjadi korban skenario jahat terpidana Kunto Aji
dan Dherandra, juga kuat dugaan menjadi korban rekayasa hukum, sudah hampir
satu tahun belum mendapatkan kepastian hukum.
Menurut pegiat anti
korupsi, Madun Hariyadi yang juga Ketum GPHN-RI yang memiliki data-data terkait
perkara kredit fiktif BJB Cab Tangerang menagatakan, sejak awal tidak ada
perbuatan melawan hukum yang dilakukan Unep Hidayat maupun Djuaningsih.
Terkait bobolnya uang BJB
Cab Tangerang pada tahun 2015 sebesar 8,7 miliar yang melakukan perbuatan
melawan hukum adalah terpidana Kunto Aji (mantan Kepala Cab BJB Tangerang) dan
terpidana Dherandra Alteza Widjaya (sebagai debitur) juga Zehan Runa Soraya
sebagai debitur.
Kunto Aji dan Dherandra
telah terbuki secara sah di persidangan telah merencanakan dan merekayasa
dokumen akad kredit. Tujuan Kunto Aji dan Dherandra membobol BJB Cab Tangerang
adalah untuk menutupi hutang-hutangnya pada Djuanningsih dan hutangnya di BJB Cab
Purwakarta.
"Banyak
fakta-fakta hukum yang kuat dugaan ditutupi, dan Majelis Hakim tanpa
menggunakan hati nurani dalam membuat keputusan tidak mewakili Tuhan sehingga
melukai rasa keadilan masyarakat. Karena Unep Hidayat dan Djuanningsih adalah
pihak luar yang diperalat oleh terpidana Kunto Aji dan Dherandra untuk
menyempurnakan niat jahatnya.
Namun selama proses
penyelidikan dan penyidikan oleh Kejati Banten banyak kejanggalan dan sangat
amburadul penegakkan hukumnya. Bahkan dalam pledoi pribadi Unep Hidayat yang
sempat menyebut ada oknum Jaksa yang meminta jatah perempuan, meminta dirinya
bersujud di kaki oknum Penyidik Kejati Banten, dan menyebut dirinya mengalami
kerugian hampir 1 miliar untuk melayani oknum Penyidik Pidsus Kejati Banten
membuat gempar dunia hukum.
Sementara masalah
kredit macet BJB Cab Tangerang ini pada tahun 2016 sudah ada hasil auditnya. Kalau
saja Penyidik Pidsus Kejati Banten profesional saya rasa proses hukum kasus BJB
Cab Tangerang ini tidak akan berlarut-larut dan juga tidak akan menjadikan Unep
Hidayat dan Djuanningsih tersangka.
Karena Unep Hidayat dan
Djuanningsih adalah korban skenario jahat Kunto Aji dan Dherandra. Dan suara
lantang Unep Hidayat juga pernah menggemparkan ruangan sidang Pengadilan Negeri
Tipikor Serang pada Selasa, 9 November 2021. Pegawai Negeri Dinas Pendidikan
Kabupaten Sumedang yang menanggung status terdakwa dalam kasus korupsi Bank
Jabar Banten (BJB) Tangerang ini blak-blakan mengungkapkan kesaksiannya perihal
Surat Perintah Kerja (SPK) yang disebut dikeluarkan oleh instansinya untuk
syarat pencairan kredit Bank BJB Cab Tangerang tahun 2015.
Dalam sidang tersebut,
Unep merespons keterangan yang diberikan oleh seorang saksi ahli bernama Ikhsan
ZR. Dia adalah Auditor Anti Fraud dan Auditor Umum Bank BJB yang dipercayai
mengaudit sejumlah dokumen yang dipakai seorang terpidana, Dheerandra Alteza
Widjaya, sebagai syarat permohonan kredit untuk PT. Djaya Abadi Soraya dan CV.
Cahaya Rezeki. Kedua perusahaan ini digadang-gadang mengerjakan proyek
pengadaan alat-alat sekolah untuk Kabupaten Sumedang.
Unep menilai Ikhsan
lalai dalam menganalisis SPK yang disebut-sebut ditandatangani olehnya.
"Saudara saksi ini kurang jeli, sebelum ke Disdik (Dinas Pendidikan)
seharusnya mempelajari dulu SPK ini," kata Unep.
Dia menjelaskan, bahwa
pengerjaan pengadaan alat-alat sekolah yang menggunakan Dana Alokasi Khusus
(DAK) Dinas Pendidikan Sumedang adalah proyek swakelola. Artinya, proyek ini
tidak akan muncul dalam platform Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)
Kabupaten Sumedang.
Perdebatan ini terjadi
karena Unep menilai keterangan Ikhsan tidak tepat dan tidak obyektif, Ikhsan
hanya membeberkan SPK yang menjadi alat bukti Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk
menjerat Unep menjadi tersangka adalah palsu dengan alasan kop surat yang
berbeda dengan aslinya.
Dalam kesaksiannya saat
menjadi saksi ahli bagi Kunto Aji Cahyo, Ikhsan menyebut SPK itu palsu dengan
dua alasan. "Dokumen dicetak menggunakan kop dinas yang berbeda dengan kop
surat resmi Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang. Pada tahun 2015 proyek
pengadaan peralatan alat multimedia di Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang
dimenangkan oleh PT. Pondok Harapan Gemilang," demikian keterangan Ikhsan
ZR sebagaimana dikutip dalam dokumen putusan Hakim terhadap Kunto Aji Cahyo
Basuki.
Menurut Unep,
seandainya PT. Djaya Abadi Soraya dan CV. Cahaya Rezeki yang memenangkan proyek
tersebut, nama kedua perusahaan ini juga tidak akan muncul dalam situs lpse.sumedangkab.go.id.
Dengan begitu, alasan bahwa SPK fiktif karena kedua hal yang telah disebutkan
di atas tidak dapat dibenarkan.
"Bahwa DAK ini
dari 2006 sampai 2019 itu saya yang mengelola DAK. Waktu itu tidak ada harus
menggunakan LPSE karena sifatnya swakelola," jelas Unep.
Unep melanjutkan, aspek
yang lain seharusnya perlu diaudit oleh Ikhsan adalah mengenai SPK yang muncul
sebanyak enam buah. Dia mengaku tidak mengetahui mengapa SPK itu menjadi
berlipat ganda saat penyidik menjadikan itu sebagai alat bukti mentersangkakan
dia dan Djuanningsih. "Berarti ini ada apa," tanyanya retoris.
Meski mengkritisi
Ikhsan, Unep tak membantah bahwa kop surat yang dijadikan alat bukti oleh JPU
adalah hasil rekayasa Dheera berdasarkan hasil audit investigasi yang dilakukan
Ikhsan ZR dan timnya. Namun dia menekankan terbitnya SPK di luar pengetahuannya
yang tidak menunjukkan bahwa Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang terikat dengan
kredit yang diakali oleh Dheerandra dan Kunto.
Unep yang kini mendekam
di Rumah Tahanan Pandeglang menegaskan, bahwa SPK yang pernah dia tanda tangani
terkait proyek swakelola di instansinya adalah surat rekomendasi agar PT. Djaya
Abadi Soraya dan CV. Cahaya Rezeki mencari dukungan pabrikan dan konsorsium
sebagai syarat swakelola untuk proyek DAK (dana alokasi khusus pendidikan).
"Kalau mau
mendapat DAK dari Dinas Pendidikan tahun 2015 ini tidak fiktif Bapak Hakim yang
mulia, Bapak Jaksa, dana DAK itu ada Rp. 56 miliar," tegas Unep.
JPU, Majelis Hakim, dan
Ikhsan ZR saat itu hanya termenung mendengarkan keterangan balasan dari Unep.
Ketiganya tak ada yang membantah argumen Unep.
Ketum GPHN RI yang
mengawasi proses penegakan hukum kasus dugaan Tipikor BJB ini juga hadir di
ruang Sidang. Dan menyampaikan kepada awak media, bahwa sangat zalim vonis
terhadap Unep Hidayat ini, karena jadi korban skenario jahat terpidana Kunto
Aji dan Dherandra Alteza Widjaya.
Diketahui, Bank BJB
Cabang Tangerang mencairkan kredit senilai Rp. 8,7 miliar untuk PT. Djaya Abadi
Soraya dan CV. Cahaya Rezeki. Kedua perusahaan ini dimiliki oleh dua sejoli,
Dheerandra Alteza Widjaya dan Raja Zehan Runa Soraya. Mereka terbukti mengakali
pencairan kredit bank dengan dalih pembangunan koperasi untuk alat-alat sekolah
di wilayah Sumedang, Jawa Barat.
Adapun keduanya dibantu
Kepala Cabang BJB Cabang Tangerang, Kunto Aji Cahyo Basuki, yang tak lain
adalah aktor intelektual dalam kasus ini. Dengan posisinya sebagai Kepala Cabang,
Kunto menerabas tim analis bank agar mempermudah pencairan akad kredit kedua
debitur. Landasan yang digunakan oleh ketiga 'maling uang bjb cab tangerang '
ini adalah proyek koperasi sekolah.
Dalam sidang perkara di
Pengadilan Tipikor Kota Serang, Rabu (2/6/2021) lalu, Dheerandra telah dijatuhi
hukuman penjara 6,5 tahun dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 4,5 miliar.
Sementara Kunto Aji Cahyo diganjar 5 tahun 6 bulan penjara. Adapun Zehan yang
juga ikut menikmati duit hasil korupsi itu saat ini masih berkeliaran.
Dalam wawancara khusus
dengan Law-Justice, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Banten yang kini menjabat
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep Nana Mulyana menceritakan, bahwa ketika
dia menerima hasil ekspos perkara oleh penyidik, dia sempat berujar, "Loh
ini (Zehan) kenapa tidak ikut ditersangkakan".
Saat itu, penyidik
berkata kepada Asep bahwa Zehan adalah istri Dheerandra yang notabene berada
dalam kendali suaminya. Asep meminta Law-Justice menggugat pengadilan jika
masih ada hal-hal yang dirasa janggal dalam peradilan kasus korupsi BJB
Tangerang.
Kepala Kejaksaan Tinggi
Banten, Reda Mantovani menjelaskan, berdasarkan hasil penyidikan Kejati Banten,
peran Zehan tidak begitu signifikan sehingga tidak ditetapkan sebagai
tersangka.
Keterangan Kajati
Banten Reda Mantovani menurut Madun Hariyadi diduga kuat hanya akal-akalan
menutupi kesalahan orang yang lazimnya jadi tersangka.
“Saya akan ajukan RDP di
Komisi III DPR RI untuk mengemukakan kebenaran bedasarkan bukti-bukati valid
yang juga saya miliki,” ujar Madun.
Djuanningsih dan Unep Hidayat
mengatakan, bahwa Zehan justru adalah debitur lain yang ikut menikmati. Dalam
audit yang dilakukan Saksi Ahli Ikhsan ZR, aliran dana turut mengalir ke Pinbuk
Zehan sebesar Rp. 750 juta. Duit negara juga mengalir ke CV. Cahaya Rezeki. Dari
hasil audit investigasi di atas, terbukti tidak ada serupiah pun yang mengalir
atau dinikmati Unep Hidayat.
Madun berujar, Kejaksaan Tinggi Banten seharusnya mampu bekerja profesional menyelamatkan uang negara Rp. 8,7 miliar sesuai hasil audit investigasi yang dilakukan saksi ahli. “Unep Hidayat ditersangkakan oleh penyidik Kejati Banten kuat dugaan adalah upaya pembungkaman. Kami sangat prihatin dengan putusan yang melukai rasa keadilan bagi dua warga Negara Indonesia ini,” pungkasnya. (Rls)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar