JAKARTA - wartaexpress.com - Sebagaimana sudah direncanakan semula dan setelah menyampaikan pemberitahuan kepada Kapolsek Metro Jatinegara meskipun di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat skala mikro (PPKM Mikro) dan dengan mematuhi protokol kesehatan (Prokes) secara ketat. Akhirnya bersyukur jika niat Masyarakat Pelaut NKRI memperingati Day Of The Seafarer ke-11 atau Hari Pelaut Sedunia ke-11 hari Jumat, 25 Juni 2021, terpenuhi sekalipun dalam keadaan sederhana dan dalam keterbatasan.
Dari poskonya di Markas
YAKE, Jl. Raya Jatinegara Timur No. 61-65, Balimester, Jatinegara, Jakarta
Timur, yang grahanya dijadikan tempat acara, hadir sekitar 20 orang undangan
sebagaimana sudah ditargetkan lebih dulu atas pertimbangan menghindari kerumunan.
Bersyukur berjalan lancar dan bisa disebut sukses, yang penuh khidmat.
Dalam kata pengantar
Jurubicara Masyarakat Pelaut NKRI, Teddy Syamsuri, dalam keterangannya kepada
pers (25/6/2021) merupakan panggilan atas kewajiban dan tanggungjawab moral
komunitas Masyarakat Pelaut NKRI untuk memperingati Hari Pelaut Sedunia ke-11
tersebut seperti tahun yang lalu. Dalam buku tamu, hadir tercatat sekitar 18
undangan tapi yang tidak isi buku tamu ada separuhnya, sehingga bisa dikatakan
dihadiri oleh sekitar 25 orang.
Nampak yang hadir di luar
komunitas Masyarakat Pelaut NKRI seperti Penasehat Binsar Effendi, Hasoloan
Siregar, Ricardo Hutabarat, Atjeng Suhendar dan Teddy Syamsuri. Juga hadir
Capt. Farhan Kambey, pengusaha Manning Agen Glen, mantan Ketua KPI Maluku Utara
Malik, dan Ustadz Rizal dari Dewan Dakwah Kebangsaan Polda Metro Jaya, serta
para sahabat pelaut lainnya yang tak perlu disebut satu per satu.
Kata sambutan Penasehat Masyarakat Pelaut NKRI Binsar Effendi lebih menitikberatkan makna di balik peringatan Day Of The Seafarer begitu besar mengandung makna sejatinya, profesi pelaut adalah sangat penting dan strategis, apalagi luas laut dua pertiga dari luas wilayah yurisdiksi NKRI, dengan kepemilikan lebih dari 17 ribu pulau. Sehingga benar tema untuk tahun ini ditetapkan oleh International Maritime Organization (IMO) dengan judul "Seafarer : Core of the Shipping's future" atau "Pelaut : Inti masa depan Pelayaran".
Jadwal acara yang
diagendakan diawali dengan mata acara menyanyikan Lagu Indonesia Raya,
mengheningkan cipta yang diiringi oleh lagu instrumentalnya dipimpin oleh
Penasehat Masyarakat Pelaut NKRI Binsar Effendi. Menyanyikan Lagu Garuda
Pancasila, pembacaan teks Pancasila, menyanyikan Lagu Padamu Negeri, dan
mendengarkan pidato Presiden Soekarno (Bung Karno) saat meresmikan Akademi Ilmu
Pelayaran (AIP) Gunung Sahari, Ancol, yang dengan tegas menyatakan "Bangsa
Indonesia Bangsa Pelaut".
Menyusul kata sambutan
dari Capt. Farhan Kambey dan Muklis. Kemudian mendengarkan tausiyah Ustadz
Rizal dan pembacaan doa bersama yang juga dipimpin oleh Ustadz Rizal yang juga
Ketua Seknas Dakwah DKI Jakarta. Ditutup oleh Penasehat Masyarakat Pelaut NKRI
Binsar Effendi, dan photo bersama yang dipandu oleh Juru bicara Masyarakat
Pelaut NKRI Teddy Syamsuri.
Rentetan mata acara itu
jelas menampilkan idealisme, patriotisme, heroisme dan nasionalisme, karena
memang Hari Pelaut Sedunia juga menjadi wajib diperingati oleh insan pelaut di
Indonesia meskipun masih dilanda keluhan "Sertifikat IMO Gaji Antimo"
yang sebenarnya tidak berkesesuaian hakikatnya dengan tema "Pelaut : Inti
masa depan Pelayaran" yang jadi judul peringatan Day Of The Seafarer Ke-11
tahun ini.
Ketidaksesuaiannya itu
justru terletak pada pemangku kebijakan yang menjadi mandatori IMO, yakni
Kemenhub untuk perhatian Ditjen Hubla. Sebab bagaimana bisa pelaut Indonesia
menjadi inti masa depan pelayaran manakala oknum pejabat Ditjen Hubla
pikirannya terus menerus ditanami oleh penempatan posisi pelaut sebagai obyek
penderita, sebagai proyek lahan basah, bahkan sebagai sapi perah. Sehingga yang
dituai bukannya inti masa depan pelayaran melainkan nasib pelaut akan tetap
tertinggal dan selalu termarjinalkan. Ini realistis, bukan politisasi.
Ketika pemangku kebijakan yang diemban oleh Menhub untuk perhatian Ditjen Hubla bersikap dan berperilaku masih saja seperti itu, yang kesannya feodal dan borjuis, sebagai mandatori IMO hanya hisapan jempol dan membuang-buang anggaran, dimana over supply pelaut tak pernah ada solusinya, terkesan seperti tidak ada pengaruhnya atas inkonsistensi jabatan yang disandangnya.
Lebih menyakitkan lagi,
jika sejak dari dulu disebutkan oleh almarhum Mochtar Kusumaatmadja, mantan
Menlu yang ahli ilmu kelautan, adalah profesi Lex Spesialis, tapi oleh
Kemenaker kemudian terkategori sebagai bagian yang disebut Pekerja Migran. Ini
sebenarnya menepuk air dalam dulang, terkena wajahnya sendiri. Kenapa demikian?
Begitu susah payahnya Mohammad Hanif Dhakiri saat menjabat Menaker mengajukan
RUU Ratifikasi MLC 2006 (Maritime Labour Convention) dan disetujui Komisi V DPR
dan diundangkan dengan pengesahan Presiden dalam UU No. 15 Tahun 2016 tentang
Pengesahan Konvensi Ketenagakerjaan Maritim tahun 2006, yang secara eksplisit
jelas bukan terkategori sebagai Pekerja Migran. Di profesi pelaut itu wajib
punya sertifikat yang berdasarkan ketentuan IMO apapun klasifikasi atau
jabatannya, yang justru memposisikan sebagai pekerja lex spesialis. Sehingga
sebutan pelaut sama seperti pekerja migran, sangat mencederai dan bisa terkesan
menyesatkan.
Dari sinilah tema Day
Of The Seafarer ke-11 tahun ini menjadi paradoks, menjadi kontraproduktif,
antara tema dengan realita yang dihadapi oleh insan pelaut Indonesia. Di sinilah
kiranya letak visi Poros Maritim Dunia yang menjadi kebijakan pemerintah
Presiden Jokowi di periode pertamanya, cenderung hanya menjadi jargon dan
sebatas retorika semata. Pasalnya nampak jika pejabat pembantu presiden
inginnya tetap memunggungi laut, memunggungi selat dan memunggungi teluk,
karena sudah merasa nyaman dan visi Poros Maritim Dunia itupun selesai begitu
saja, entah raib kemana.
Itu sebab ada planning
Masyarakat Pelaut NKRI ingin melayangkan surat resmi kepada Sekjen IMO Lim
Kitack atas penetapan tema Day Of The Seafarer ke-11 tahun ini tidak relevan
jika harus dituruti oleh insan pelaut Indonesia. Paling tidak dan diharapkan,
Sekjen IMO berkenan mempertimbangkan atas ketidakrelevanan tersebut dengan
mempertanyakan kepada Menhub untuk perhatian Dirjen Hubla, kanapa kok pelaut
Indonesia belum bisa menjadi inti dan berperan kunci untuk masa depan
pelayaran.
"Planning tersebut tentunya akan kita Masyarakat Pelaut NKRI akan membahasnya dengan para stakeholder tokoh dan senior pelaut, serta akademisi kampus ilmu pelayaran, agar konsep planningnya tidak asal bunyi dan dibuat secara profesional, sekalipun sebatas kemampuan yang ada", ujar Penasehat Masyarakat Pelaut NKRI Binsar Effendi yang masih bersama Hasoloan Siregar, Ricardo Hutabarat, Atjeng Suhendar dan Teddy Syamsuri, usai acara memperingati Hari Pelaut Sedunia ke-11 tahun ini tersebut. (Kontr/Teddy Syamsuri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar