JAKARTA - wartaexpress.com - Ancaman maritim terbesar yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah transnational organized crime dan illegal fishing. Pareto diagram jumlah isu keamanan maritim menunjukkan, bahwa kedua jenis kejahatan ini memberikan 70% kontribusi semua isu keamanan maritim di Indonesia. Sebut saja yang lainnya adalah border disputes, armed robbery/piracy, kecelakaan di laut, cybercrime, tumpahan minyak, terorisme, dan invasion.
Demikian dikatakan
Pranata Humas Ahli Madya, Kolonel Bakamla Dr. Wisnu Pramandita, ST, MM, M.Tr.
Hanla, saat menjadi pembicara dalam forum ke-8 Southeast Asia Maritime
Law Enforcement Initiative (SEAMLE) yang diselenggarakan US Coast
Guard bekerja sama dengan Philippines Coast Guard, melalui video
teleconference, Jumat (8/4/2022).
Kolonel Bakamla Dr.
Wisnu Pramandita menjelaskan, terkait dengan kejahatan transnasional yang
paling berbahaya adalah penyelundupan khususnya narkoba. Ada peningkatan kasus
tangkapan narkoba sepanjang 4-5 tahun belakangan, meskipun terjadi penurunan
total berat yang didapat. Hampir 80-90% narkoba masuk ke Indonesia melalui laut
di pesisir Selat Malaka, Kalimantan dan Jawa Barat bagian selatan. Narkoba itu
diselundupkan dari berbagai tempat produksi narkoba di luar negeri seperti Golden
Triangle, Golden Chrysant, Golden Peacock dan juga Africa.
Selain itu juga, Wisnu menjelaskan, bahwa pencari suaka adalah modus lain dari kejahatan ini. Seringkali para pencari suaka ini tidak punya pilihan selain ditipu dan dikirim oleh jaringan kejahatan transnasional, lalu dibiarkan tenggelam di laut.
Setiap tahun,
Indonesia memiliki kasus ini dan dalam dua tahun terakhir, lebih dari 500
pencari suaka dari kasus Rohingya. Berdasarkan data Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, pada pertengahan tahun 2021 terdapat 13.343 orang berstatus
pengungsi. Namun, ada 3.223 pencari suaka dari 20 negara yang belum diproses.
Dikatakan Kolonel
Bakamla Dr. Wisnu Pramandita, ancaman IUUF merupakan jenis kejahatan maritim
terbesar kedua yang terjadi di Indonesia. Secara umum, hal ini terjadi di WPP
(Wilayah Pengelolaan Perikanan) 711 di Laut Natuna Utara, WPP 572 di Selat
Malaka dan WPP 716 di Laut Sulawesi.
Di WPP 711, IUUF
sebagian besar dilakukan oleh kapal penangkap ikan asing dari Vietnam dan ada
juga dari Malaysia. Di WPP 572, IUUF paling banyak dilakukan oleh kapal
penangkap ikan asing asal Malaysia. Sedangkan di WPP 716, sebagian besar
berasal dari Filipina, dan sebagian lagi dari Malaysia. Menurutnya, perlu ada
kerjasama antar aparat penegak hukum di laut yang erat untuk mengatasi wilayah
batas yang masih dalam klaim masing-masing secara unilateral atau sepihak.Foto : Humas Bakamla RI
Di akhir paparan,
Kolonel Bakamla Dr. Wisnu Pramandita mengusulkan konsep untuk menjamin
terwujudnya keamanan maritim dan menghadapi seluruh ancaman ini secara
sistematis. Strategi maritim ini meliputi, (1) mengumpulkan informasi,
Informasi adalah salah satu elemen kekuatan, dan kita dapat mengambilnya dari
banyak sumber seperti radar, satelit, media sosial, termasuk informasi yang
berasal dari aset patroli kita. (2) Menutup celah daerah operasi yang tidak
tercover. (3) bekerja sama dengan berbagai forum sebagai media untuk berbagi
ilmu dan membangun informasi. Dan (4) Melaksanakan pendekatan diplomatik dengan
negara sahabat yang saling berbatasan.
Forum SEAMLE ini digelar sejak 4 April 2022 dan dibuka oleh RADM Ronnie Gavan, Coast Guard Maritime Security and Law Enforcement Command, Philippine Coast Guard dan RADM Peter Gautier, Deputy Pacific Area Commander, US Coast Guard. Kegiatan diikuti peserta negara Coast Guard dari Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Amerika Serikat. (Humas Bakamla RI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar